Blogger Widgets Artikel indonesia: Sejarah Bangsa

Tuwiter

Artikel Indonesia Kelas X, XI XII

SILAKAN SEDOT WC DI KAMI 1X24JAM DI NO HP sedot wc bandung 085100941494 / 08970013700

MAKALAH INDONESIA

Kamis, 19 Februari 2015

Sejarah Bangsa

MENJELANG Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Cipasung, Singaparna, Kab. Tasiklamaya, tahun 1994 lampau, KH. Abdurrahman Wahid berdiskusi di kantor Redaksi Pikiran Rakyat Jln. Soekarno-Hatta 147 Bandung. Tokoh yang akrab dipanggil Gus Dur itu bicara tentang berbagai persoalan nasional dengan gayanya yang khas dan disambut ger-geran oleh hadirin. Tiba-tiba saja pembicaraan berbelok ke masalah Darul Islam (DI).

Dunia saat ini, kata Gus Dur yang saat itu Ketua Umum PB NU, tengah mengalami perubahan besar. Tidak terkecuali di Indonesia. Apa yang sebelumnya secara politik diharamkan, pada perkembangan berikutnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Dia mengambil contoh tentang sikap lunak pemerintah terhadap sejumlah tokoh yang pada masa lalu dianggap berbahaya bagi negara, atau setidak-tidaknya dicurigai akan mengancam stabilitas nasional. Termasuk di dalamnya orang-orang yang terkait dengan Darul Islam.
“Belum lama ini, Pangab Feisal Tanjung mengunjungi Ajengan Khoer Affandi di Manonjaya Tasikmalaya. Semua tahu, Ajengan Khoer itu kan pernah menjabat semacam bupati DI wilayah Ciamis dan sekitarnya. Kalau Feisal Tanjung saja sowan ke Ajengan Khoer, bukan tidak mungkin Pak Harto berziarah ke makam tokoh DI Kartosuwiryo,” tuturnya.
Kalimat terakhir itu disambut riuh gelak yang hadir. Memang pada tahun tersebut, Feisal Tanjung bersilaturahmi ke Pesantren Miftahul Huda Manonjaya yang dipimpin KH. Khoer Affandi. Ulama yang satu ini memang cukup berpengaruh di Tasikmalaya. Santrinya banyak, dan sebgian lagi malah sudah mendirikan pesantren sendiri. Dia akrab dipanggil Uwak Khoer.
Saya yakin, bukan lantaran ucapannya itu kalau kemudian Gus Dur diharamkan bersalaman dengan Presiden Soeharto, saat orang kuat Orde Baru tersebut membuka Muktamar NU di Cipasung. Bahkan Gus Dur tidak diperkenankan masuk ke ruang VIP, tempat Pak Harto beristirahat. Padahal hajatan itu adalah hajatan orang NU, dan Gus Dur adalah pimpinann puncaknya.
Ketidaksukaan Pak Harto kepada Gus Dur, lebih disebabkan sikap kiai tersebut yang dianggap seringkali berani berbeda pendapat dengan pemerintah. Kita semua tahu, pada zaman keemasan Orde Baru, perbedaan pendapat bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Tapi “ramalan” Gus Dur tidak terbukti. Ternyata sampai akhir hayatnya, Pak Harto tidak pernah berziarah ke makam Pak Karto yang konon terletak di Pulau Onrust gugusan Kepulauan Seribu.
Belakangan, nama DI atau NII kembali disebut-sebut. Di beberapa daerah, termasuk Jawa Barat sejumlah orang ditangkapi. Kasus terakhir adalah penangkapan yang dilakukan Densus 88 terhadap 20 orang aktivis NII di Bandung. Mereka diciduk di sebuah tempat di Kota Bandung, yang diduga menjadi basis pergerakan kelompok bersangkutan selama ini.
Wacana perlunya berdiri sebuah negara Islam Indonesia memang tidak pernah padam sama sekali. Dengan basis pemikiran DI-nya Pak Karto, wacana ini merambah ke kalangan kaum terpelajar. Meskipun kemudian di tengah perjalanannya banyak terjadi improvisasi. Sebagian dari mereka menyebut gerakannya sebagai Dal (D) Alif (I) atau Neo Dal Alif. Sedangkan Negara Islam Indosesia sering disebut N-11.
Namun menyebut nama DI atau NII, tidak selamanya berkonotasi perjuangan lurus demi keyakinan yang diperjuangkan para aktivisnya. Beberapa referensi menunjukkan adanya pemanfaatan nama besar DI bagi kepentingan-kepentingan sekelompok orang.
Salah satu hal menarik adalah apa yang dikemukakan mantan Pangkopkamtib Letjen (Purn) Sumitro. Dalam buku biografinya Sumitro secara terang-terangan menulis tentang hubungan Ali Murtopo dan orang-orang DI. Lewat Opsus (Operasi Khusus) dan lembaga Aspri (Asisten Pribadi) Presiden, Ali Murtopo dengan giat menggarap kader DI dari Jabar dan Jateng.
Mereka di Jakarta menempati markas tersendiri yang sudah disediakan Ali Murtopo. Secara implisit, Sumitro menulis kemungkinan pertautan antara aktivitas tersebut dengan meletusnya peristiwa 15 Januari 1974 yang menghebohkan itu. Demo mahasiswa yang berakhir dengan “bakar-bakaran” tersebut dikenal dengan peristiwa Malari.
Dia menyebut sejumlah pentolan DI yang punya hubungan khusus dengan Ali Murtopo. Termasuk di antaranya Haji Ismail Pranoto alias Hispran (Jateng). Menurut Umar Abduh –yang rajin menyoroti DI KW-9 Al-Zaytun Indramayu- dalam sebuah wawancara di Trans TV, kepada Hispran-lah Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar (alm) berbai’at. Dua nama itu disebut-sebut aparat sebagai tokoh sentral Jamaah Islamiyah (JI).
Tapi saya pun percaya, masih banyak ikhwan yang dalam dirinya mengalir semangat mendirikan daulah Islamiyah secara murni, tanpa ditunggangi kepentingan politik pemerintah. Kawan-kawan seperti itu tidak menjadikan harakah tersebut sekadar mainan gaya Orde Baru, hanya untuk menjebak dan mendata orang-orang yang berseberangan dengan negara. Saya cukup banyak mengenal ikhwan yang berhati tulus seperti itu. Mereka saleh, tawadlu, namun tetap istiqomah dalam pendirian.
Rasa-rasanya tidak adil juga, kalau dalam memori kolektif bangsa ini yang terekam soal DI hanya sangkaan pembunuhan, penjarahan, atau pemerkosaan. Pencitraan tersebut pada satu sisi adalah sebuah keberhasilan kerja rezim pada masanya, yang mencekoki rakyat melalui buku-buku pelajaran sejarah menurut versinya sendiri.
Latar belakang munculnya gerakan yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo itu jarang sekali dikaji secara fair dan ilmiah. Kecuali sejumlah buku yang ditulis orang asing. Susah untuk mempercayai adanya organisasi DI yang kuat dan solid setelah Pak Karto tidak ada. Kini yang ada tinggal sejumlah faksi yang mengklaim diri sbagai pewaris sah DI. Namun sebagai sebuah semangat, DI sangat dimungkinkan tetap berada dalam diri para kader dan simpatisannya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar