MENJELANG Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Cipasung, Singaparna, Kab.
Tasiklamaya, tahun 1994 lampau, KH. Abdurrahman Wahid berdiskusi di
kantor Redaksi Pikiran Rakyat Jln. Soekarno-Hatta 147 Bandung. Tokoh
yang akrab dipanggil Gus Dur itu bicara tentang berbagai persoalan
nasional dengan gayanya yang khas dan disambut ger-geran oleh hadirin.
Tiba-tiba saja pembicaraan berbelok ke masalah Darul Islam (DI).
Dunia saat ini, kata Gus Dur yang saat itu Ketua Umum PB NU, tengah
mengalami perubahan besar. Tidak terkecuali di Indonesia. Apa yang
sebelumnya secara politik diharamkan, pada perkembangan berikutnya bisa
dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Dia mengambil contoh tentang sikap lunak pemerintah terhadap sejumlah
tokoh yang pada masa lalu dianggap berbahaya bagi negara, atau
setidak-tidaknya dicurigai akan mengancam stabilitas nasional. Termasuk
di dalamnya orang-orang yang terkait dengan Darul Islam.
“Belum lama ini, Pangab Feisal Tanjung mengunjungi Ajengan Khoer Affandi
di Manonjaya Tasikmalaya. Semua tahu, Ajengan Khoer itu kan pernah
menjabat semacam bupati DI wilayah Ciamis dan sekitarnya. Kalau Feisal
Tanjung saja sowan ke Ajengan Khoer, bukan tidak mungkin Pak Harto
berziarah ke makam tokoh DI Kartosuwiryo,” tuturnya.
Kalimat terakhir itu disambut riuh gelak yang hadir. Memang pada tahun
tersebut, Feisal Tanjung bersilaturahmi ke Pesantren Miftahul Huda
Manonjaya yang dipimpin KH. Khoer Affandi. Ulama yang satu ini memang
cukup berpengaruh di Tasikmalaya. Santrinya banyak, dan sebgian lagi
malah sudah mendirikan pesantren sendiri. Dia akrab dipanggil Uwak
Khoer.
Saya yakin, bukan lantaran ucapannya itu kalau kemudian Gus Dur
diharamkan bersalaman dengan Presiden Soeharto, saat orang kuat Orde
Baru tersebut membuka Muktamar NU di Cipasung. Bahkan Gus Dur tidak
diperkenankan masuk ke ruang VIP, tempat Pak Harto beristirahat. Padahal
hajatan itu adalah hajatan orang NU, dan Gus Dur adalah pimpinann
puncaknya.
Ketidaksukaan Pak Harto kepada Gus Dur, lebih disebabkan sikap kiai
tersebut yang dianggap seringkali berani berbeda pendapat dengan
pemerintah. Kita semua tahu, pada zaman keemasan Orde Baru, perbedaan
pendapat bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Tapi “ramalan” Gus Dur tidak terbukti. Ternyata sampai akhir hayatnya,
Pak Harto tidak pernah berziarah ke makam Pak Karto yang konon terletak
di Pulau Onrust gugusan Kepulauan Seribu.
Belakangan, nama DI atau NII kembali disebut-sebut. Di beberapa daerah,
termasuk Jawa Barat sejumlah orang ditangkapi. Kasus terakhir adalah
penangkapan yang dilakukan Densus 88 terhadap 20 orang aktivis NII di
Bandung. Mereka diciduk di sebuah tempat di Kota Bandung, yang diduga
menjadi basis pergerakan kelompok bersangkutan selama ini.
Wacana perlunya berdiri sebuah negara Islam Indonesia memang tidak
pernah padam sama sekali. Dengan basis pemikiran DI-nya Pak Karto,
wacana ini merambah ke kalangan kaum terpelajar. Meskipun kemudian di
tengah perjalanannya banyak terjadi improvisasi. Sebagian dari mereka
menyebut gerakannya sebagai Dal (D) Alif (I) atau Neo Dal Alif.
Sedangkan Negara Islam Indosesia sering disebut N-11.
Namun menyebut nama DI atau NII, tidak selamanya berkonotasi perjuangan
lurus demi keyakinan yang diperjuangkan para aktivisnya. Beberapa
referensi menunjukkan adanya pemanfaatan nama besar DI bagi
kepentingan-kepentingan sekelompok orang.
Salah satu hal menarik adalah apa yang dikemukakan mantan Pangkopkamtib
Letjen (Purn) Sumitro. Dalam buku biografinya Sumitro secara
terang-terangan menulis tentang hubungan Ali Murtopo dan orang-orang DI.
Lewat Opsus (Operasi Khusus) dan lembaga Aspri (Asisten Pribadi)
Presiden, Ali Murtopo dengan giat menggarap kader DI dari Jabar dan
Jateng.
Mereka di Jakarta menempati markas tersendiri yang sudah disediakan Ali
Murtopo. Secara implisit, Sumitro menulis kemungkinan pertautan antara
aktivitas tersebut dengan meletusnya peristiwa 15 Januari 1974 yang
menghebohkan itu. Demo mahasiswa yang berakhir dengan “bakar-bakaran”
tersebut dikenal dengan peristiwa Malari.
Dia menyebut sejumlah pentolan DI yang punya hubungan khusus dengan Ali
Murtopo. Termasuk di antaranya Haji Ismail Pranoto alias Hispran
(Jateng). Menurut Umar Abduh –yang rajin menyoroti DI KW-9 Al-Zaytun
Indramayu- dalam sebuah wawancara di Trans TV, kepada Hispran-lah Abu
Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar (alm) berbai’at. Dua nama itu
disebut-sebut aparat sebagai tokoh sentral Jamaah Islamiyah (JI).
Tapi saya pun percaya, masih banyak ikhwan yang dalam dirinya mengalir
semangat mendirikan daulah Islamiyah secara murni, tanpa ditunggangi
kepentingan politik pemerintah. Kawan-kawan seperti itu tidak menjadikan
harakah tersebut sekadar mainan gaya Orde Baru, hanya untuk menjebak
dan mendata orang-orang yang berseberangan dengan negara. Saya cukup
banyak mengenal ikhwan yang berhati tulus seperti itu. Mereka saleh,
tawadlu, namun tetap istiqomah dalam pendirian.
Rasa-rasanya tidak adil juga, kalau dalam memori kolektif bangsa ini
yang terekam soal DI hanya sangkaan pembunuhan, penjarahan, atau
pemerkosaan. Pencitraan tersebut pada satu sisi adalah sebuah
keberhasilan kerja rezim pada masanya, yang mencekoki rakyat melalui
buku-buku pelajaran sejarah menurut versinya sendiri.
Latar belakang munculnya gerakan yang dipimpin Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo itu jarang sekali dikaji secara fair dan ilmiah. Kecuali
sejumlah buku yang ditulis orang asing. Susah untuk mempercayai adanya
organisasi DI yang kuat dan solid setelah Pak Karto tidak ada. Kini yang
ada tinggal sejumlah faksi yang mengklaim diri sbagai pewaris sah DI.
Namun sebagai sebuah semangat, DI sangat dimungkinkan tetap berada dalam
diri para kader dan simpatisannya.**
Artikel Indonesia Kelas X, XI XII
MAKALAH INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar